Kamis, 07 September 2017

Kerja





--o0o--
Ini adalah kisah Tri dan pagi harinya yang nyentrik. Semoga bisa menghibur.
--o0o--




Saya adalah mereka yang saya benci tiga tahun silam. Ini konyol, tapi memang begitu. Entah kapan dan bagaimana prosesnya, tiba-tiba saya mendapati diri dilingkupi selimut mengahadap ufuk.

Kurang lebih lima belas kali saya terus bertanya kepada bayangan di cermin, apa benar ini saya? Saya yang dulunya berkumis lebat dan berkacamata tebal? Kenapa penglihatan saya membaik? Apakah semalam terjadi suatu hal yang sangat luar biasa? Kenapa juga saya bisa kelewatan informasi begini?

Turun dari ranjang dan menyambut mentari demi masa depan yang lebih baik rupanya sudah menjadi rutinitas. Ibu saya nampak tidak heran dengan penampilan anaknya. Haruskah saya bertanya pada Ibu untuk memastikan keadaan yang sebenarnya?

“Kemana?”

Ah ya, sudah jelas saya mau menyapa matahari. Tapi, akan ganjil jika saya berterus terang pada Ibu. Lebih tepatnya, tidak sopan. “Mau kerja, Bu.”

Ibu memandang saya dengan tatapan yang bisa diartikan kamu ngomong apa sih. Saya ingin bertanya lebih lanjut atas arti tatapan Ibu, tapi urung saya lakukan karena saya sudah tidak punya waktu untuk sarapan. Jadi begini, kalau saya tanya Ibu lebih lanjut, beliau pasti memaksa saya untuk ikut sarapan dan saya tidak mau sarapan. Jadi, lebih baik saya pergi saja secepat mata memandang.

Berjalan cepat, sekilas saya melihat sepeda ontel milik mendiang Bapak masih terparkir dengan cantik di dekat pagar. Saya mulai bingung. Menurut kalian, saya lebih baik naik sepeda atau angkutan umum?

Apa?

Sepeda yang disewakan untuk umum?

Gendeng!

Di sini mana ada yang seperti itu. Sudahlah, saya jalan kaki saja. Siapa tahu di jalan saya bisa bertemu dengan jodoh. Aminkan saudara-saudara!

Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya, karena apa? Ya karena saya jalan kaki. Bah, harusnya dari dulu saya lakoni, sekarang kan saya jadi menyesal. Coba kalau dari dulu saya jalan kaki, mungkin sekarang saya sudah bisa akrab dengan pedagang asongan di seberang jalan atau bisa jadi, saya sudah kenalan dengan perempuan cantik bercelana hijau yang sedang minum kopi sembari menangis di arah barat daya.

Saya baru saja akan berlari saat tahu bahwa 3 menit ke depan adalah waktu yang dapat menentukan akhir pagi ini. Antara dimarahi oleh Bos besar atau disuguhi kopi hangat buatan office girl yang diam-diam sering saya foto. Hus, jangan sampai informasi ini bocor ke tangan orang yang salah ya. Nanti dia bisa ngamuk minta saya kawinin!

Tapi saudara-saudara, niat lari saya terhentikan oleh teriakan eh-sapaan. “Mas Tri tumben berangkatnya siang Mas. Gak sholat subuh ya?”

Saya geleng-geleng. Eits, bukan karena saya tidak sholat subuh. Maksud saya adalah saya kesiangan bukan karena tidak sholat subuh.

Orang tadi setelah sholat saya tidur lagi, jadi saja kesiangan. Ah, si akang ini bukan penebak jitu! Tidak seru! “Saya sholat kok, Kang. Mari, saya duluan.”

Akang-akang itu saya tinggal begitu saja. Suruh siapa bertanya di saat yang tidak tepat? Kalau mau basa-basi, nanti sajalah, saya masih harus mengejar maaf Bu Bos karena telat datang ke kantor.

Kenop pintu di depan mata saya bergeming. Saya jelas narik napas pelan-pelan, karena kalau terlalu kencang takut terdengar sampai ruang sebelah. Sumpah, ini menakutkan sekali! Pasalnya, seumur-umur saya belum pernah terlambat. Dengar-dengar dari tetangga kubikel sebelah, dia pernah dimarahi sampai malas kerja selama seminggu! Waduh, nasib saya bagaimana ini?

“Ceu, boleh saya minta pang buatin kopi hitam? Antar ke meja saya ya.” Masih ingat office girl yang tadi saya ceritakan? Nah, saya sedang bicara dengan dia sekarang. Dia tampak mengerti, tapi jiwa penasaran khas negara ini tetap melekat pada dirinya. “Kenapa kopi hitam Mas Tri? Biasanya kan Mas suka pengen dibuatin teh tarik?”

Hm, kira-kira saya harus ngasih alasan apa ya? Boleh bantu mikir? Coba, tolong buatkan saya alasan yang tidak bikin dia kesinggung.

“Gak mau jawab ya Mas? Yo wes, saya ke dapur dulu.” Nah, ternyata dia tahu diri!

“Kamu tidak mau masuk, Tri Pamungkas?”

Welah! Kenapa beliau bisa tahu saya berdiri di depan pintu ruangan beliau? Alamak! Dia keturunan cenayang kah?

“Wah Ibu, hari ini cantik sekali ya Bu! Ibu pasti parfumnya baru, wanginya segar betul! Boleh tahu apa nama parfumnya Bu? Kali saja saya bisa belikan untuk pacar.” Ngaco, mana ada perempuan waras yang mau saya pacari? Mereka maunya saya nikahi!

Bu Bos besar diam, sepertinya beliau sudah tahu lawakan saya yang garing. Jujur saja, saya tidak berbakat melawak, tapi saya berbakat mengulur-ulur waktu. “Kamu tahu kamu salah apa?”

Saya buru-buru mengangguk biar terlihat keren. Bibir terbuka lebar sudah ancang–ancang mau buat alasan seindah mungkin, eh beliau malah angkat telapak tangan minta saya berhenti. “Kamu masih mau kerja di sini ga sih sebenarnya? Sudah merasa kantor ini punya kamu?”

Saya mengangguk, lagi. Jujur kawan, saya kira Bu Bos besar mau mecat saya sekarang. Jadi ya, kepalang basah. Mending saya buat kesan jelek saja sekalian biar Bu Bos besar mengenang saya sepanjang masa hidupnya yang tidak lama lagi. Duh, kok saya jadi mendoakan hal yang jelek ya? Ah, pasti karena kalian! Ayo bantu saya baikan sama Bu Bos!

“Begini Bu, bisa saya jelaskan.” Bu Bos besar marah, ya saya tahu. Begini-begini, saya suka buat klarifikasi sejelas mungkin. Biar yang dibuat kesal tidak terlalu kesal. Tunggu, saya ini mikir apa sih?

“Setiap karyawan itu memang harus merasa bahwa kantor tempat ia bekerja adalah miliknya. Dengan itu, setiap orang akan merasa memiliki kantornya. Siapapun dia, tidak ada yang mau miliknya diusik oranglain. Apalagi sampai terancam hilang. Kalau dalam kasus perusahaan sih Bu, anggap saja ada yang mencoba untuk merusak sistem. Amit-amit kalau sampai bangkrut.”

Asik, Bu Bos nampak memperhatikan penjelasan ngawur bin ngidul saya. Semoga saja seterusnya beliau demikian.

“Nah Bu, saya ini tadi bangun telat, terus saya tiba-tiba ingat nasib dari sesuatu yang saya miliki. Aset yang harus saya jaga. Apalagi kalau bukan perusahaan ini. Jadi ya Bu, saya bahkan bela-belain lari, ngobrol sebentar sama Kang Dudu di depan, nyapa Ceu Ningsih, mengorbankan hampir tiga puluh menit berharga saya untuk menjaga kemaslahatan bangsa.”

“Tunggu. Apa hubungannya ngobrol dengan Dudu dan Ningsih?” Wah wah wah, Bu Bos besar sudah masuk perangkap. Kalau begini caranya tinggal closing saja. “Bu, mereka juga bekerja di sini. Dengan kata lain, mereka adalah pemilik perusahaan ini juga. Sesama pemilik perusahaan haruslah beramah tamah. Karena kalau tidak, bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jangankan dengan sesama pemilik perusahaan, kita bahkan diperintahkan untuk ramah pada siapapun.”

Bu Bos besar tidak tahu saja, ini keringat dingin sudah deras mengalir di punggung. Saya harap-harap cemas dengan reaksi Bu Bos besar selanjutnya. Kira-kira, beliau bakal jadi mecat saya atau tidak? Karena kalau tidak, saya berjanji, saya akan traktir makan malam Kang Dudu dan Ceu Ningsih. Mereka sudah berjasa sekali karena sempat saya pinjam namanya sebentar. Duh, maaf ya Kang Dudu, Ceu Ningsih, saya tidak sempat minta izin dulu tadi.

“Sekarang kamu kenapa masih diam?” Lah, Bu Bos kan belum ngusir saya, mana bisa saya keluar seenaknya, dikira saya tidak punya tata krama apa? Ini sudah masuk penghinaan ini. Kalau saya tidak ingat bahwa hati saya sehalus sutra, saya pasti sudah laporkan Bu Bos ke pihak yang berwajib. Biar dihukum saja sekalian.

Bu Bos bangkit dari tempat duduknya yang lebih mirip dikatakan sarang tawon. Sungguh, bentuknya memang aneh sekali. Lain kali, kalian harus mau saya ajak ke sini untuk membuktikan ucapan saya.

Tapi setelah dipikir-pikir, lebih baik jangan. Saya takut kalian keluar keringat dingin seperti saya.

“Saya tahu Tri, saya paham betul. Seharusnya saya tidak perlu pakai acara manggil kamu kesini segala.” Ya, maksud Ibu, harusnya Ibu panggil saja bagian HRD untuk memecat saya, begitu?

“Saya gagal paham Bu.” Lebih baik berterus terang bukan?

Bu Bos menatap mata saya lurus-lurus. Eits si Ibu, hati-hati atuh! Nanti kalau ada tikungan gimana? Masa Ibu mau lurus terus?

Karena saya memang dari sana-Nya tidak mau kalah, jadi saya balik tatap Bu Bos dengan serius. Dih, dikira saya bakal kalah? Gini-gini saya pernah menang lomba saling tatap tanpa ngedip jaman SD tahu!

Harusnya sekarang saya menunduk sih sebenarnya. Staf biasa kayak saya seharusnya tahu malu. HRD dulu sepertinya khilaf deh nerima saya. “Kamu sudah bosan belum bekerja jadi staf biasa yang kehidupannya normal-normal saja?”

Normal? Wah Si Ibu, parah pisan euy! Masa iya kehidupan saya dibilang normal? Kakek-kakek lagi nari jaipong saja tahu bahwasannya saya itu tidak waras alias gelo. “Jawab pertanyaan saya Tri!”

Eh copot, copot!

Bu Bos kalau sudah naik pitam seram ya? Jauh-jauh deh saya telat lagi kedepannya. Kalau perlu, nanti saya pakai jam weker sembilan biji biar macam paduan suara dan membangunkan warga sekampung. Kapok, kapok dah!

Jawab jujur tidak ya? Menurut kalian, saya lebih baik jawab jujur atau tidak? Jujur sepertinya lebih baik. Karena saya bukan karyawan yang pintar paling tidak, saya harus bisa jadi karyawan yang jujur. Bukan begitu saudara-saudara?

“Bosan Bu.”

Duh kawan, saya takut ini. Reaksi kedepannya Bu Bos akan seperti apa ya? Bu Bos nampak merogoh sesuatu dalam laci sangat mini di dekat meja kerjanya. Wajar sih, dengan tubuh segempal itu, pasti sangat sulit melakukannya. “Ini, ambil ini. Baca isinya baik-baik di luar ruangan saya. Setelah itu kemasi barang kamu secepatnya.”

Tuh kan. Palingan dipecat. Lagi.

Saya mengangguk, karena memang cuman bisa mengangguk. Keluar dari ruangan Bu Bos, menutup pintunya super pelan sampai suara pintunya hampir tidak terdengar. Hah, waktunya duduk manis di kursi kerja sambil membaca surat pemecatan.

Ceu Ningsih tergopoh-gopoh membawa kopi pesanan saya. Lah? Saya pesan kopi? Saya kan pesan teh tarik, kenapa munculnya kopi? “Nih Mas Tri, kopi hitamnya. Ningsih buat dengan cinta biar Mas Tri gak keselek.”

Kalau bisa milih, saya ingin sekali membalas candaan Ceu Ningsih. Tapi saya sedang tidak bisa. Meminjam bahasa kekinian anak sekarang sih, bisa dibilang saya sedang tidak mood. Jadi bisa ditebak dong saya ngapain selanjutnya? Ya saya cuman ambil kopi buatan Ceu Ningsih yang saya yakin tanpa gula lalu mengisyaratkan terimakasih tanpa suara. Hitung-hitung amalan biar paginya Ceu Ningsih lebih berwarna. “Aduhai, disenyumin Mas Tri! Semangat bekerja ya Mas Tri!”

Senyum? Halah, saya sedang stres dibilang senyum. Aneh! Tidak apa-apalah, yang penting sekarang Ceu Ningsih sudah pergi. Kembali ke tempat asalnya.

Tangan saya panas dingin membuka perlahan amplop yang sudah dipersiapkan Bu Bos. Kalau sudah dipersiapkan begini, namanya pemecatan dengan niat level tinggi. Ini mah namanya memang sudah niat mau mecat saya.

Tapi, siapa sangka dugaan kita semua salah?

Karena saya terlalu terheran-heran, saya sampai baca surat tersebut dengan suara yang sangat halus. Sampai saya yakin yang bisa mendengarnya ya cuman saya. “Terhitung hari ini, saya tidak rela kamu pakai lift di kanan meja resepsionis. Kamu harus mulai belajar menggunakan lift di seberang kiri. Sekali-kali berjalan sedikit jauh tidak akan membuat tulang kamu patah. Kalau kamu masih bingung, kamu boleh minta keterangan lanjut ke HRD.”

Halah, cuman suruh ganti lift doang? Begini mah cingcay!

“Apaan itu sob?” Ujang, rekan sehidup semati saya selama di kantor ini datang sambil menenteng map berwarna abu-abu. “Biasa Jang, si Bu Bos suka agak-agak gitu.”

Saya sih tertawa lucu-lucu saja. Habisnya, Bu Bos itu berlebihan. Masa cuman pindah lift saja saya sampai harus kemasi barang-barang? “Wah, selamat kau Tri!”

Saya tertawa. Kalau boleh jujur, tawa saya lebar sekali. “Gendeng kamu Jang, saya pindah lift kamu malah ketawa!”

Selang berapa detik kemudian,  saya merasakan sakit yang biasa-biasa saja hadir karena tempelengan Ujang di pelipis kanan. Wah, si Ujang ngajak ribut di lapangan tenis kalau begini caranya! “Sinting! Ini artinya kamu dipromosikan tahu! Lift di seberang kiri itu khusus eksekutif!”


Ha? Promosi?

Selesai.
.
.
.
.
Note : Teman-teman, yang saya post di blog ini, semuanya benar-benar karya saya. Kebanyakan sih hasil begadang ditemenin suara mendengkur dari luar kamar. Jadi, jangan disebarluaskan tanpa mencantumkan kredit ya :)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Untouchable world Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang