Rabu, 06 September 2017

Penjemput Senja


--o0o--
Adalah aku yang ingin berpulang tapi tak pernah bisa
--o0o--




Ivanka tahu ia tidak cantik, Mamaknya sudah berulang kali mengatakan hal itu sampai ia bosan. Lagipula, dia sama sekali tidak perduli. Ia sadar diri, mungkin lebih baik jika keadaan ini dijaga status quo-nya.

Mengapa bisa seperti itu?

Ivanka yakin, meski suatu saat nanti ia berubah menjadi wanita dengan paras tercantikpun, Mamaknya akan tetap menganggap ia jelek. Cih, apa bagusnya pula wajah Mamak?

Dan apabila Ivanka sudah mulai mendengar ejekan dari Mamaknya, maka ia lebih memilih untuk diam dan mendengarkan. Tidak pernah sedikitpun ia berkometar, ia takut komentarnya nanti akan melukai hati Mamak. Dia masih sayang dirinya dan tentu tidak mau dikatakan anak durhaka.

Pernah suatu ketika ia berjalan menikmati langit sore kota tua sendirian. Hei, aku tahu kalian pasti berharap setidaknya ia memiliki teman. Tapi tidak, Ivanka lebih memilih tidak punya teman. Baginya, itu sama saja dengan pemborosan waktu, tempat, dan juga perasaan. Langit kota tua itu mendung, Ivanka jalan saja acuh tak acuh. Toh, hujan hanya air, belum berubah partikelnya menjadi api. Kalau sudah menjadi api, mari kita ingatkan Ivanka untuk membeli mantel canggih inovasi terbaru ibukota. Desas-desus mengatakan, mantel itu akan tetap utuh meski terbakar. 

Hus sudah, ayo kita kembalikan fokus pada Ivanka. Kepalanya terangkat, dikepalanya sudah pasti ada ribuan tanda tanya yang ia simpan untuk dirinya sendiri. Karena baginya, hidup adalah waktu dimana kita mengumpulkan pertanyaan sebanyak mungkin. Seperti kenapa Ivanka lahir? Kenapa Ivanka memutuskan untuk tinggal di pedesaan sementara Mamaknya saja sudah memilih untuk tinggal di ibukota dengan segala kecanggihannya? Kenapa Ivanka tetap kukuh untuk berjalan kaki sementara sudah ditemukan alat transportasi yang lebih canggih?

Ivanka tersenyum mengingat ada beberapa orang di luar sana yang menanyakan pertanyaan serupa. Tapi ya sudahlah, biarkan mereka mengumpulkan pertanyaannya sendiri. Nanti jika sudah banyak, akan Ivanka cek lagi guna mengetahui seberapa penasaran mereka terhadap hidupnya.

Helaan nafas pria tua berwajah menyenangkan yang duduk di sampingnya, mau tak mau membuat ia menghentikan langkah. Diperhatikannya lamat-lamat wajah itu, dalam hati berdoa semoga saja Pak tua tidak sadar ada seorang wanita yang memperhatikannya.

“Kemarilah, pertanyaanmu ekstrem sekali.” Ivanka terkejut.

Bukan karena si Pak tua yang tahu bahwa ia sedang menyusun pertanyaan baru, tapi lebih kepada kenapa Pak tua itu tetap tersenyum meski tahu ia sedang diperhatikan dengan selidik yang sama sekali tak ramah. Ya, orang bilang Ivanka tidak menyenangkan. Ia terlalu kaku dan juga menyeramkan untuk ukuran seorang konsultan. Ivanka mendengus saat mengingat profesinya. Mana ada orang di dunia ini memiliki profesi yang seharusnya ia benci. Ivanka pasti sudah gila, bukannya ia sendiri yang mendeklarasikan ia benci pergaulan? Jadi untuk apa ilmu yang bertahun-tahun sudah digelutinya?

Tidak seperti biasanya, kali ini Ivanka menurunkan ego yang ia punya dan mengikuti perintah si Pak tua. Hei, mana mau Ivanka repot-repot menyisihkan waktunya atas titah orang lain selain Mamak? Tapi kali ini ia menurut saja, toh ia pikir ide untuk duduk di sebelah Pak tua ini juga tidak buruk.

Merogoh sakunya, Ivanka ingat betul tadi di rumah ia sudah menyiapkan roti bakar andalannya. “Jangan kau makan!” Ivanka melirik sinis, siapa pula lelaki ini melarangnya? Tahu watak Ivanka saja tidak, lelaki tua di sampingnya ini benar-benar tidak tahu malu.

“Aku mau rotimu, jadi jangan kau makan. Itu untukku saja.” Kuku Ivanka memutih, hal ini sering terjadi di saat ia kesal. Apa pria ini tidak tahu sudah 3 hari dia tidak makan dengan benar? Salahkan bos gilanya. Akhir tahun memang terkadang menjadi ujian paling berat bagi pekerja karena harus dihadapkan dengan tutup buku tahunan dan jangan lupakan juga rencana-rencana baru yang harus mereka susun demi menyambut tahun selanjutnya. “Ayolah, sesampainya kau di gubukmu nanti, kau bisa membuatnya lagi untukmu sendiri. Dengan porsi yang lebih besar dan tentunya lebih baik dari yang kau pegang sekarang.”

Malas berdebat, Ivanka berikan saja –sebelumnya sudah cepat Ivanka pastikan ia memberikan roti tersebut dengan tangan kanannya dan serta merta menyembunyikan tangan kirinya di belakang baju. “Terimakasih.”

Tidak, bukan Pak tua itu yang mengucapkan terimakasih. Pak tua itulah yang kebagian mengangguk dan mengatakan “sama-sama.”

Ivanka menegakkan kembali dagunya yang sempat tertunduk untuk mengucapkan kata sakral ajaran Mamaknya. “Lain kali kau bawalah kopi. Ngomong-ngomong roti ini enak juga, kau pasti membelinya sebelum pulang ke kampung. Ah, sudah lama juga aku tidak ke kota. Kudengar dari bisik-bisik tetangga, mobil terbang bahkan sudah ada ya?”

Bagai magis, Ivanka hanya mengangguk saja dan cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain. Arah mana saja, yang terpenting tidak menatap wajah menyenangkan Pak tua ini. Sial sekali, Pak tua ini sebenarnya manusia seberuntung apa hingga dapat memiliki perhatian Ivanka? Percayalah padaku, teman-teman sekantor Ivanka sering bertaruh dengan uang menggunung jika salah satu dari mereka berhasil membuat Ivanka memberikan fokusnya secara eksklusif. Tapi, ya seperti yang kalian tahu, tak ada yang berhasil memenangkan taruhan itu.

Langit menggelap, Ivanka tidak mau melirik jam tangan digitalnya untuk mengetahui pukul berapa sekarang. Ia terlalu malas untuk hal sekecil itu. Toh untuk apa? Ia sudah mendapatkan apa yang ia ingin ketahui. “Wah, kau juga bisa membaca jam dari pergerakan matahari ya? Sudah jarang sekali anak muda seusiamu melakukannya.”

Juga? Jadi Pak tua ini juga menguasai hal ‘aneh’ yang Ivanka kuasai? Wow, keren. Mungkin lain kali, setelah Ivanka pergi nanti aku akan berlari menghampiri dan bertanya bagaimana caranya. “Kau tersenyum, bagaimana bisa?” Tanya Ivanka dengan lirih.

“Mudah saja, karena aku bersyukur.” Jawab Pak tua itu ceria. Sekilas, kalian akan mendapati pertukaran aura usia pada mereka berdua. Di usianya yang masih muda, pembawaan Ivanka justru terlihat kolot. Sedang Pak tua ini senantiasa mengumbar senyumnya, sungguh ironis karena beliau terlihat memiliki jiwa muda yang seharusnya Ivanka miliki. “Meski takdir sering kali tidak adil?” Tambah Ivanka lagi.

Pak tua itu menggeleng, “Tuhan selalu adil, ingat itu baik-baik dalam otakmu Ivanka.” Lagi, Ivanka hanya mengangguk tanpa protes darimana gerangan Pak tua itu mengetahui namanya. “Kau adalah pria tua naif yang terlalu positif tuan. Tidak bisakah kalu lihat sisi gelapnya?”

Diluar dugaan, Pak tua itu tertawa. Bahkan jemarinya mengacak rambut Ivanka gemas. “Jadi, kau betah berdiam diri dalam gelap? Ah ya, aku lupa. Gelap juga berperan penting dalam kehidupan ini. Yang terang tak akan seterang mereka tanpa si berbayang bukan? Kau memang pintar Ivanka.”

Pintar? Ivanka itu jenius! Bukan hanya sekedar pintar. “Aku tahu bukan hanya aku saja yang terlahir sebagai mereka yang berlebih. Pria tua ini sudah melewati beberapa tahun menakjubkan dan aku yakin betul kau juga mengerti atas pembicaraan yang kita bangun kali ini.” Ujung bibir Ivanka tertarik sebelah, semakin menampakan kesan tak ramahnya. “Kau dengan kemampuanmu, apakah itu membuatmu bahagia?”

Pak tua itu menggeleng menanggapi, “Dikatakan bahagia tidak juga. Tapi aku bersyukur.” Ivanka tak habis pikir, sebenarnya Pak tua ini mau apa darinya, mengapa pula sulit untuk diberitahu? “Ratusan tahun lalu, ada juga yang sepertimu. Ah tidak, ia adalah dirimu.” Tambah Pak tua.

Bagai empat dadu yang dilemparkan dan menampilkan angka genap berturut-turut, roda nasib saat itu berpacu tanpa takut kehilangan orang-orang yang berharap padanya, cukup. Ivanka muak dan ia bangkit, memunggungi wajah menyenangkan yang mati-matian ia hindari. “Berhenti membaca pikiranku Pak, kau tahu konsekuensinya.”

“Wahai, aku tahu betul. Tapi memang menyenangkan mengetahui pikiran brilianmu itu. Bersyukurlah, setiap yang pergi selalu diiringi dengan pedatang baru.”

Ada belati mengusik pikirannya, roda nasib itu terus berputar. Baik Ivanka maupun Pak tua di belakangnya, masing-masing dari mereka tahu bahwa mereka tak bisa lari dari percakapan ini. Ivanka si wanita pengutuk nasib dan Pak tua yang berulang kali meminta Ivanka untuk bersyukur. “Tuhan itu adil.” Peringatnya kembali.

“3..”

Pak tua itu tersenyum, mengeliat, dan bersiap-siap untuk berbaring. Ah, pasti nyaman sekali bergelung di tempat yang baru saja Ivanka duduki. “Berhentilah berhitung wahai engkau anak muda. Ada beberapa hal dalam dunia ini yang tak sesuai dengan perhitungan acak manusia. Berhentilah sebelum kau mengutuk dirimu sendiri.”

“DIAM!” Ada suara melengking dan itu bukan berasal dari Pak tua.

“2..”

Pak tua yang sudah bergelung nyaman itu melemaskan lehernya dan mulai merapal sesuatu.

“1..”

Matanya mulai menutup damai. Dalam lamat angin, sepelan mungkin mereka menari dan menyanyi, mengiringi pria tersebut dalam tidur abadinya. “Selamat tinggal.”

Tak ada lagi jalan-jalan sore seperti apa yang Ivanka bayangkan. Ia berlari, bergegas mencari tempat dimana ia bisa bernaung dengan tenang. Ini terlalu berat untuknya.

Lagipula, apa asyiknya hidup saat kau sudah mengetahui siapa saja yang akan datang dan pergi. Lagi, perkataan Pak tua itu tak sedikitpun membekas padanya. Dirinya terus saja mengutuk takdir yang begitu kejam. Tega-teganya membuat ia menderita seperti ini. Mengapa pula harus menyiksanya dengan cara yang seperti ini? Apakah dosa yang ia miliki terlalu berat,  hingga ia harus diperlakukan secara tidak adil?

Malam ini, dari sekian malam yang setiap harinya Ivanka lewati, ia kembali menangis. Lupakan bengisnya, Ivanka tidak sekejam itu. Ia hanya wanita lembut yang begitu perasa.

Malam ini, dari sekian malam yang ia lewati, tangisnya lebih dahsyat dari tangis sebelum-sebelumnya. Pria tua itu pergi, ya dia tahu. Tapi hal yang ia sesali adalah, saat ia pun mengetahui bahwa Pria tua itu tidak pergi sendiri. Ia membawa pasangan hatinya, Pria tua itu pasti sekarang tengah tersenyum dan bersyukur.

Lain dengan Ivanka. Lain, karena Ivanka justru kini membenci keputusannya tadi pagi untuk berjalan di sore hari.

Benci, karena pria tua itu pulang membawa Mamaknya yang tinggal di kota.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Untouchable world Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang