--o0o--
Ini adalah kisah Tri dan pagi harinya yang nyentrik. Semoga bisa menghibur.
--o0o--
Ini adalah kisah Tri dan pagi harinya yang nyentrik. Semoga bisa menghibur.
--o0o--
Saya adalah
mereka yang saya benci tiga tahun silam. Ini konyol, tapi memang begitu. Entah
kapan dan bagaimana prosesnya, tiba-tiba saya mendapati diri dilingkupi selimut
mengahadap ufuk.
Kurang lebih
lima belas kali saya terus bertanya kepada bayangan di cermin, apa benar ini
saya? Saya yang dulunya berkumis lebat dan berkacamata tebal? Kenapa
penglihatan saya membaik? Apakah semalam terjadi suatu hal yang sangat luar
biasa? Kenapa juga saya bisa kelewatan informasi begini?
Turun dari
ranjang dan menyambut mentari demi masa depan yang lebih baik rupanya sudah
menjadi rutinitas. Ibu saya nampak tidak heran dengan penampilan anaknya.
Haruskah saya bertanya pada Ibu untuk memastikan keadaan yang sebenarnya?
“Kemana?”
Ah ya, sudah
jelas saya mau menyapa matahari. Tapi, akan ganjil jika saya berterus terang
pada Ibu. Lebih tepatnya, tidak sopan. “Mau kerja, Bu.”
Ibu memandang
saya dengan tatapan yang bisa diartikan kamu
ngomong apa sih. Saya ingin bertanya lebih lanjut atas arti tatapan Ibu,
tapi urung saya lakukan karena saya sudah tidak punya waktu untuk sarapan. Jadi
begini, kalau saya tanya Ibu lebih lanjut, beliau pasti memaksa saya untuk ikut
sarapan dan saya tidak mau sarapan. Jadi, lebih baik saya pergi saja secepat
mata memandang.
Berjalan cepat,
sekilas saya melihat sepeda ontel milik mendiang Bapak masih terparkir dengan
cantik di dekat pagar. Saya mulai bingung. Menurut kalian, saya lebih baik naik
sepeda atau angkutan umum?
Apa?
Sepeda yang
disewakan untuk umum?
Gendeng!
Di sini mana ada
yang seperti itu. Sudahlah, saya jalan kaki saja. Siapa tahu di jalan saya bisa
bertemu dengan jodoh. Aminkan saudara-saudara!
Perjalanan kali
ini tidak seperti biasanya, karena apa? Ya karena saya jalan kaki. Bah,
harusnya dari dulu saya lakoni, sekarang kan saya jadi menyesal. Coba kalau
dari dulu saya jalan kaki, mungkin sekarang saya sudah bisa akrab dengan
pedagang asongan di seberang jalan atau bisa jadi, saya sudah kenalan dengan
perempuan cantik bercelana hijau yang sedang minum kopi sembari menangis di
arah barat daya.
Saya baru saja
akan berlari saat tahu bahwa 3 menit ke depan adalah waktu yang dapat
menentukan akhir pagi ini. Antara dimarahi oleh Bos besar atau disuguhi kopi
hangat buatan office girl yang
diam-diam sering saya foto. Hus, jangan sampai informasi ini bocor ke tangan
orang yang salah ya. Nanti dia bisa ngamuk minta saya kawinin!
Tapi
saudara-saudara, niat lari saya terhentikan oleh teriakan eh-sapaan. “Mas Tri
tumben berangkatnya siang Mas. Gak sholat subuh ya?”
Saya geleng-geleng.
Eits, bukan karena saya tidak sholat subuh. Maksud saya adalah saya kesiangan
bukan karena tidak sholat subuh.
Orang tadi
setelah sholat saya tidur lagi, jadi saja kesiangan. Ah, si akang ini bukan penebak jitu! Tidak seru!
“Saya sholat kok, Kang. Mari, saya duluan.”
Akang-akang itu saya tinggal begitu saja. Suruh siapa bertanya
di
saat yang tidak tepat?
Kalau mau basa-basi, nanti sajalah, saya masih harus mengejar maaf Bu Bos
karena telat datang ke kantor.
Kenop pintu di
depan mata saya bergeming. Saya jelas narik napas pelan-pelan, karena kalau
terlalu kencang takut terdengar sampai ruang sebelah. Sumpah, ini menakutkan
sekali! Pasalnya, seumur-umur saya belum pernah terlambat. Dengar-dengar dari
tetangga kubikel sebelah, dia pernah dimarahi sampai malas kerja selama
seminggu! Waduh, nasib saya bagaimana ini?
“Ceu, boleh saya
minta pang
buatin kopi hitam?
Antar ke meja saya ya.” Masih ingat office
girl yang tadi saya ceritakan? Nah, saya sedang bicara dengan dia sekarang.
Dia tampak mengerti, tapi jiwa penasaran khas negara ini tetap melekat pada
dirinya. “Kenapa kopi hitam Mas Tri? Biasanya kan Mas suka pengen dibuatin teh
tarik?”
Hm, kira-kira
saya harus ngasih alasan apa ya? Boleh bantu mikir? Coba, tolong buatkan saya
alasan yang tidak bikin dia kesinggung.
“Gak mau jawab
ya Mas? Yo wes, saya ke dapur dulu.” Nah, ternyata dia tahu diri!
“Kamu tidak mau
masuk, Tri Pamungkas?”
Welah! Kenapa
beliau bisa tahu saya berdiri di depan pintu ruangan beliau? Alamak! Dia
keturunan cenayang kah?
“Wah Ibu, hari
ini cantik sekali ya Bu! Ibu pasti parfumnya baru, wanginya segar betul! Boleh
tahu apa nama parfumnya Bu? Kali saja saya bisa belikan untuk pacar.” Ngaco,
mana ada perempuan waras yang mau saya pacari? Mereka maunya saya nikahi!
Bu Bos besar
diam, sepertinya beliau sudah tahu lawakan saya yang garing. Jujur saja, saya
tidak berbakat melawak, tapi saya berbakat mengulur-ulur waktu. “Kamu tahu kamu
salah apa?”
Saya buru-buru
mengangguk biar terlihat keren. Bibir terbuka lebar sudah ancang–ancang mau
buat alasan seindah mungkin, eh beliau malah angkat telapak tangan minta saya
berhenti. “Kamu masih mau kerja di sini ga sih sebenarnya? Sudah merasa kantor
ini punya kamu?”
Saya mengangguk,
lagi. Jujur kawan, saya kira Bu Bos besar mau mecat saya sekarang. Jadi ya,
kepalang basah. Mending saya buat kesan jelek saja sekalian biar Bu Bos besar
mengenang saya sepanjang masa hidupnya yang tidak lama lagi. Duh, kok saya jadi
mendoakan hal yang jelek ya? Ah, pasti karena kalian! Ayo bantu saya baikan
sama Bu Bos!
“Begini Bu, bisa
saya jelaskan.” Bu Bos besar marah, ya saya tahu. Begini-begini, saya suka buat
klarifikasi sejelas mungkin. Biar yang dibuat kesal tidak terlalu kesal.
Tunggu, saya ini mikir apa sih?
“Setiap karyawan
itu memang harus merasa bahwa kantor tempat ia bekerja adalah miliknya. Dengan itu, setiap orang akan
merasa memiliki kantornya. Siapapun dia, tidak ada yang mau miliknya diusik
oranglain. Apalagi sampai terancam hilang. Kalau dalam kasus perusahaan sih Bu,
anggap saja ada yang mencoba untuk merusak sistem. Amit-amit kalau sampai
bangkrut.”
Asik, Bu Bos
nampak memperhatikan penjelasan ngawur bin ngidul saya. Semoga saja seterusnya
beliau demikian.
“Nah Bu, saya
ini tadi bangun telat, terus saya tiba-tiba ingat nasib dari sesuatu yang saya
miliki. Aset yang harus saya jaga. Apalagi kalau bukan perusahaan ini. Jadi ya
Bu, saya bahkan bela-belain lari, ngobrol sebentar sama Kang Dudu di depan,
nyapa Ceu Ningsih, mengorbankan hampir tiga puluh menit berharga saya untuk
menjaga kemaslahatan bangsa.”
“Tunggu. Apa
hubungannya ngobrol dengan Dudu dan Ningsih?” Wah wah wah, Bu Bos besar sudah
masuk perangkap. Kalau begini caranya tinggal closing saja. “Bu, mereka juga bekerja di sini. Dengan kata lain,
mereka adalah pemilik perusahaan ini juga. Sesama pemilik perusahaan haruslah
beramah tamah. Karena kalau tidak, bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Jangankan dengan sesama pemilik perusahaan, kita bahkan diperintahkan untuk ramah
pada siapapun.”
Bu Bos besar
tidak tahu saja, ini keringat dingin sudah deras mengalir di punggung. Saya
harap-harap cemas dengan reaksi Bu Bos besar selanjutnya. Kira-kira, beliau
bakal jadi mecat saya atau tidak? Karena kalau tidak, saya berjanji, saya akan
traktir makan malam Kang Dudu dan Ceu Ningsih. Mereka sudah berjasa sekali
karena sempat saya pinjam namanya sebentar. Duh, maaf ya Kang Dudu, Ceu
Ningsih, saya tidak sempat minta izin dulu tadi.
“Sekarang kamu
kenapa masih diam?” Lah, Bu Bos kan belum ngusir saya, mana bisa saya keluar
seenaknya, dikira saya tidak punya tata krama apa? Ini sudah masuk penghinaan
ini. Kalau saya tidak ingat bahwa hati saya sehalus sutra, saya pasti sudah
laporkan Bu Bos ke pihak yang berwajib. Biar dihukum saja sekalian.
Bu Bos bangkit
dari tempat duduknya yang lebih mirip dikatakan sarang tawon. Sungguh,
bentuknya memang aneh sekali. Lain kali, kalian harus mau saya ajak ke sini
untuk membuktikan ucapan saya.
Tapi setelah dipikir-pikir,
lebih baik jangan. Saya takut kalian keluar keringat dingin seperti saya.
“Saya tahu Tri,
saya paham betul. Seharusnya saya tidak perlu pakai acara manggil kamu kesini
segala.” Ya, maksud Ibu, harusnya Ibu panggil saja bagian HRD untuk memecat
saya, begitu?
“Saya gagal paham
Bu.” Lebih baik berterus terang bukan?
Bu Bos menatap
mata saya lurus-lurus. Eits si Ibu, hati-hati atuh! Nanti kalau ada tikungan
gimana? Masa Ibu mau lurus terus?
Karena saya
memang dari sana-Nya tidak mau kalah, jadi saya balik tatap Bu Bos dengan serius.
Dih, dikira saya bakal kalah? Gini-gini saya pernah menang lomba saling tatap
tanpa ngedip jaman SD tahu!
Harusnya
sekarang saya menunduk sih sebenarnya. Staf biasa kayak saya seharusnya tahu
malu. HRD dulu sepertinya khilaf deh nerima saya. “Kamu sudah bosan belum
bekerja jadi staf biasa yang kehidupannya normal-normal saja?”
Normal? Wah Si
Ibu, parah pisan euy! Masa iya
kehidupan saya dibilang normal? Kakek-kakek lagi nari jaipong saja tahu
bahwasannya saya itu tidak waras alias gelo.
“Jawab pertanyaan saya Tri!”
Eh copot, copot!
Bu Bos kalau
sudah naik pitam seram ya? Jauh-jauh deh saya telat lagi kedepannya. Kalau
perlu, nanti saya pakai jam weker sembilan biji biar macam paduan suara dan
membangunkan warga sekampung. Kapok, kapok dah!
Jawab jujur
tidak ya? Menurut kalian, saya lebih baik jawab jujur atau tidak? Jujur
sepertinya lebih baik. Karena saya bukan karyawan yang pintar paling tidak,
saya harus bisa jadi karyawan yang jujur. Bukan begitu saudara-saudara?
“Bosan Bu.”
Duh kawan, saya
takut ini. Reaksi kedepannya Bu Bos akan seperti apa ya? Bu Bos nampak merogoh
sesuatu dalam laci sangat mini di dekat meja kerjanya. Wajar sih, dengan tubuh
segempal itu, pasti sangat sulit melakukannya. “Ini, ambil ini. Baca isinya
baik-baik di luar ruangan saya. Setelah itu kemasi barang kamu secepatnya.”
Tuh kan.
Palingan dipecat. Lagi.
Saya mengangguk,
karena memang cuman bisa mengangguk. Keluar dari ruangan Bu Bos, menutup
pintunya super pelan sampai suara pintunya hampir tidak terdengar. Hah, waktunya
duduk manis di kursi kerja sambil membaca surat pemecatan.
Ceu Ningsih
tergopoh-gopoh membawa kopi pesanan saya. Lah? Saya pesan kopi? Saya kan pesan
teh tarik, kenapa munculnya kopi? “Nih Mas Tri, kopi hitamnya. Ningsih buat
dengan cinta biar Mas Tri gak keselek.”
Kalau bisa
milih, saya ingin sekali membalas candaan Ceu Ningsih. Tapi saya sedang tidak
bisa. Meminjam bahasa kekinian anak sekarang sih, bisa dibilang saya sedang
tidak mood. Jadi bisa ditebak dong
saya ngapain selanjutnya? Ya saya cuman ambil kopi buatan Ceu Ningsih yang saya
yakin tanpa gula lalu mengisyaratkan terimakasih tanpa suara. Hitung-hitung
amalan biar paginya Ceu Ningsih lebih berwarna. “Aduhai, disenyumin Mas Tri!
Semangat bekerja ya Mas Tri!”
Senyum? Halah,
saya sedang stres dibilang senyum. Aneh! Tidak apa-apalah, yang penting
sekarang Ceu Ningsih sudah pergi. Kembali ke tempat asalnya.
Tangan saya
panas dingin membuka perlahan amplop yang sudah dipersiapkan Bu Bos. Kalau
sudah dipersiapkan begini, namanya pemecatan dengan niat level tinggi. Ini mah
namanya memang sudah niat mau mecat saya.
Tapi, siapa
sangka dugaan kita semua salah?
Karena saya
terlalu terheran-heran, saya sampai baca surat tersebut dengan suara yang
sangat halus. Sampai saya yakin yang bisa mendengarnya ya cuman saya.
“Terhitung hari ini, saya tidak rela kamu pakai lift di kanan meja resepsionis.
Kamu harus mulai belajar menggunakan lift di seberang kiri. Sekali-kali
berjalan sedikit jauh tidak akan membuat tulang kamu patah. Kalau kamu masih
bingung, kamu boleh minta keterangan lanjut ke HRD.”
Halah, cuman
suruh ganti lift doang? Begini mah cingcay!
“Apaan itu sob?”
Ujang, rekan sehidup semati saya selama di kantor ini datang sambil menenteng
map berwarna abu-abu. “Biasa Jang, si Bu Bos suka agak-agak gitu.”
Saya sih tertawa
lucu-lucu saja. Habisnya, Bu Bos itu berlebihan. Masa cuman pindah lift saja
saya sampai harus kemasi barang-barang? “Wah, selamat kau Tri!”
Saya tertawa.
Kalau boleh jujur, tawa saya lebar sekali. “Gendeng kamu Jang, saya pindah lift
kamu malah ketawa!”
Selang berapa
detik kemudian, saya merasakan sakit
yang biasa-biasa saja hadir karena tempelengan Ujang di pelipis kanan. Wah, si
Ujang ngajak ribut di lapangan tenis kalau begini caranya! “Sinting! Ini
artinya kamu dipromosikan tahu! Lift di seberang kiri itu khusus eksekutif!”
Ha? Promosi?
Selesai.
.
.
.
.
Note : Teman-teman, yang saya post di blog ini, semuanya benar-benar karya saya. Kebanyakan sih hasil begadang ditemenin suara mendengkur dari luar kamar. Jadi, jangan disebarluaskan tanpa mencantumkan kredit ya :)
0 komentar:
Posting Komentar