--o0o--
Adalah aku yang ingin berpulang tapi tak pernah bisa
--o0o--
Adalah aku yang ingin berpulang tapi tak pernah bisa
--o0o--
Ivanka tahu ia
tidak cantik, Mamaknya sudah berulang kali mengatakan hal itu sampai ia bosan.
Lagipula, dia sama sekali tidak perduli. Ia sadar diri, mungkin lebih baik jika
keadaan ini dijaga status quo-nya.
Mengapa bisa
seperti itu?
Ivanka yakin,
meski suatu saat nanti ia berubah menjadi wanita dengan paras tercantikpun,
Mamaknya akan tetap menganggap ia jelek. Cih, apa bagusnya pula wajah Mamak?
Dan apabila
Ivanka sudah mulai mendengar ejekan dari Mamaknya, maka ia lebih memilih untuk
diam dan mendengarkan. Tidak pernah sedikitpun ia berkometar, ia takut
komentarnya nanti akan melukai hati Mamak. Dia masih sayang dirinya dan tentu
tidak mau dikatakan anak durhaka.
Pernah suatu
ketika ia berjalan menikmati langit sore kota tua sendirian. Hei, aku tahu
kalian pasti berharap setidaknya ia memiliki teman. Tapi tidak, Ivanka lebih
memilih tidak punya teman. Baginya, itu sama saja dengan pemborosan waktu,
tempat, dan juga perasaan. Langit kota tua itu mendung, Ivanka jalan saja acuh
tak acuh. Toh, hujan hanya air, belum berubah partikelnya menjadi api. Kalau
sudah menjadi api, mari kita ingatkan Ivanka untuk membeli mantel canggih
inovasi terbaru ibukota. Desas-desus mengatakan, mantel itu akan tetap utuh
meski terbakar.
Hus sudah, ayo kita
kembalikan fokus pada Ivanka. Kepalanya terangkat, dikepalanya sudah pasti ada
ribuan tanda tanya yang ia simpan untuk dirinya sendiri. Karena baginya, hidup
adalah waktu dimana kita mengumpulkan pertanyaan sebanyak mungkin. Seperti
kenapa Ivanka lahir? Kenapa Ivanka memutuskan untuk tinggal di pedesaan
sementara Mamaknya saja sudah memilih untuk tinggal di ibukota dengan segala
kecanggihannya? Kenapa Ivanka tetap kukuh untuk berjalan kaki sementara sudah
ditemukan alat transportasi yang lebih canggih?
Ivanka tersenyum
mengingat ada beberapa orang di luar sana yang menanyakan pertanyaan serupa.
Tapi ya sudahlah, biarkan mereka mengumpulkan pertanyaannya sendiri. Nanti jika
sudah banyak, akan Ivanka cek lagi guna mengetahui seberapa penasaran mereka terhadap
hidupnya.
Helaan nafas
pria tua berwajah menyenangkan yang duduk di sampingnya, mau tak mau membuat ia
menghentikan langkah. Diperhatikannya lamat-lamat wajah itu, dalam hati berdoa
semoga saja Pak tua tidak sadar ada seorang wanita yang memperhatikannya.
“Kemarilah,
pertanyaanmu ekstrem sekali.” Ivanka terkejut.
Bukan karena si
Pak tua yang tahu bahwa ia sedang menyusun pertanyaan baru, tapi lebih kepada kenapa Pak tua itu tetap tersenyum
meski tahu ia sedang diperhatikan dengan selidik yang sama sekali tak ramah.
Ya, orang bilang Ivanka tidak menyenangkan. Ia terlalu kaku dan juga
menyeramkan untuk ukuran seorang konsultan. Ivanka mendengus saat mengingat
profesinya. Mana ada orang di dunia ini memiliki profesi yang seharusnya ia
benci. Ivanka pasti sudah gila, bukannya ia sendiri yang mendeklarasikan ia
benci pergaulan? Jadi untuk apa ilmu yang bertahun-tahun sudah digelutinya?
Tidak seperti
biasanya, kali ini Ivanka menurunkan ego yang ia punya dan mengikuti perintah
si Pak tua. Hei, mana mau Ivanka repot-repot menyisihkan waktunya atas titah
orang lain selain Mamak? Tapi kali ini ia menurut saja, toh ia pikir ide untuk
duduk di sebelah Pak tua ini juga tidak buruk.
Merogoh sakunya,
Ivanka ingat betul tadi di rumah ia sudah menyiapkan roti bakar andalannya.
“Jangan kau makan!” Ivanka melirik sinis, siapa pula lelaki ini melarangnya?
Tahu watak Ivanka saja tidak, lelaki tua di sampingnya ini benar-benar tidak
tahu malu.
“Aku mau rotimu,
jadi jangan kau makan. Itu untukku saja.” Kuku Ivanka memutih, hal ini sering
terjadi di saat ia kesal. Apa pria ini tidak tahu sudah 3 hari dia tidak makan
dengan benar? Salahkan bos gilanya. Akhir tahun memang terkadang menjadi ujian
paling berat bagi pekerja karena harus dihadapkan dengan tutup buku tahunan dan
jangan lupakan juga rencana-rencana baru yang harus mereka susun demi menyambut
tahun selanjutnya. “Ayolah, sesampainya kau di gubukmu nanti, kau bisa
membuatnya lagi untukmu sendiri. Dengan porsi yang lebih besar dan tentunya
lebih baik dari yang kau pegang sekarang.”
Malas berdebat,
Ivanka berikan saja –sebelumnya sudah cepat Ivanka pastikan ia memberikan roti
tersebut dengan tangan kanannya dan serta merta menyembunyikan tangan kirinya
di belakang baju. “Terimakasih.”
Tidak, bukan Pak
tua itu yang mengucapkan terimakasih. Pak tua itulah yang kebagian mengangguk
dan mengatakan “sama-sama.”
Ivanka
menegakkan kembali dagunya yang sempat tertunduk untuk mengucapkan kata sakral
ajaran Mamaknya. “Lain kali kau bawalah kopi. Ngomong-ngomong roti ini enak
juga, kau pasti membelinya sebelum pulang ke kampung. Ah, sudah lama juga aku
tidak ke kota. Kudengar dari bisik-bisik tetangga, mobil terbang bahkan sudah
ada ya?”
Bagai magis,
Ivanka hanya mengangguk saja dan cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain.
Arah mana saja, yang terpenting tidak menatap wajah menyenangkan Pak tua ini.
Sial sekali, Pak tua ini sebenarnya manusia seberuntung apa hingga dapat
memiliki perhatian Ivanka? Percayalah padaku, teman-teman sekantor Ivanka
sering bertaruh dengan uang menggunung jika salah satu dari mereka berhasil
membuat Ivanka memberikan fokusnya secara eksklusif. Tapi, ya seperti yang
kalian tahu, tak ada yang berhasil memenangkan taruhan itu.
Langit
menggelap, Ivanka tidak mau melirik jam tangan digitalnya untuk mengetahui
pukul berapa sekarang. Ia terlalu malas untuk hal sekecil itu. Toh untuk apa? Ia
sudah mendapatkan apa yang ia ingin ketahui. “Wah, kau juga bisa membaca jam
dari pergerakan matahari ya? Sudah jarang sekali anak muda seusiamu
melakukannya.”
Juga? Jadi Pak
tua ini juga menguasai hal ‘aneh’ yang Ivanka kuasai? Wow, keren. Mungkin lain
kali, setelah Ivanka pergi nanti aku akan berlari menghampiri dan bertanya
bagaimana caranya. “Kau tersenyum, bagaimana bisa?” Tanya Ivanka dengan lirih.
“Mudah saja,
karena aku bersyukur.” Jawab Pak tua itu ceria. Sekilas, kalian akan mendapati
pertukaran aura usia pada mereka berdua. Di usianya yang masih muda, pembawaan
Ivanka justru terlihat kolot. Sedang Pak tua ini senantiasa mengumbar
senyumnya, sungguh ironis karena beliau terlihat memiliki jiwa muda yang
seharusnya Ivanka miliki. “Meski takdir sering kali tidak adil?” Tambah Ivanka
lagi.
Pak tua itu
menggeleng, “Tuhan selalu adil, ingat itu baik-baik dalam otakmu Ivanka.” Lagi,
Ivanka hanya mengangguk tanpa protes darimana gerangan Pak tua itu mengetahui
namanya. “Kau adalah pria tua naif yang terlalu positif tuan. Tidak bisakah
kalu lihat sisi gelapnya?”
Diluar dugaan,
Pak tua itu tertawa. Bahkan jemarinya mengacak rambut Ivanka gemas. “Jadi, kau
betah berdiam diri dalam gelap? Ah ya, aku lupa. Gelap juga berperan penting
dalam kehidupan ini. Yang terang tak akan seterang mereka tanpa si berbayang bukan? Kau memang pintar
Ivanka.”
Pintar? Ivanka
itu jenius! Bukan hanya sekedar pintar. “Aku tahu bukan hanya aku saja yang
terlahir sebagai mereka yang berlebih. Pria tua ini sudah melewati beberapa
tahun menakjubkan dan aku yakin betul kau juga mengerti atas pembicaraan yang
kita bangun kali ini.” Ujung bibir Ivanka tertarik sebelah, semakin menampakan
kesan tak ramahnya. “Kau dengan kemampuanmu, apakah itu membuatmu bahagia?”
Pak tua itu
menggeleng menanggapi, “Dikatakan bahagia tidak juga. Tapi aku bersyukur.”
Ivanka tak habis pikir, sebenarnya Pak tua ini mau apa darinya, mengapa pula
sulit untuk diberitahu? “Ratusan tahun lalu, ada juga yang sepertimu. Ah tidak,
ia adalah dirimu.” Tambah Pak tua.
Bagai empat dadu
yang dilemparkan dan menampilkan angka genap berturut-turut, roda nasib saat
itu berpacu tanpa takut kehilangan orang-orang yang berharap padanya, cukup.
Ivanka muak dan ia bangkit, memunggungi wajah menyenangkan yang mati-matian ia
hindari. “Berhenti membaca pikiranku Pak, kau tahu konsekuensinya.”
“Wahai, aku tahu
betul. Tapi memang menyenangkan mengetahui pikiran brilianmu itu. Bersyukurlah,
setiap yang pergi selalu diiringi dengan pedatang baru.”
Ada belati
mengusik pikirannya, roda nasib itu terus berputar. Baik Ivanka maupun Pak tua
di belakangnya, masing-masing dari mereka tahu bahwa mereka tak bisa lari dari
percakapan ini. Ivanka si wanita pengutuk nasib dan Pak tua yang berulang kali
meminta Ivanka untuk bersyukur. “Tuhan itu adil.” Peringatnya kembali.
“3..”
Pak tua itu
tersenyum, mengeliat, dan bersiap-siap untuk berbaring. Ah, pasti nyaman sekali
bergelung di tempat yang baru saja Ivanka duduki. “Berhentilah berhitung wahai
engkau anak muda. Ada beberapa hal dalam dunia ini yang tak sesuai dengan
perhitungan acak manusia. Berhentilah sebelum kau mengutuk dirimu sendiri.”
“DIAM!” Ada
suara melengking dan itu bukan berasal dari Pak tua.
“2..”
Pak tua yang
sudah bergelung nyaman itu melemaskan lehernya dan mulai merapal sesuatu.
“1..”
Matanya mulai
menutup damai. Dalam lamat angin, sepelan mungkin mereka menari dan menyanyi,
mengiringi pria tersebut dalam tidur abadinya. “Selamat tinggal.”
Tak ada lagi
jalan-jalan sore seperti apa yang Ivanka bayangkan. Ia berlari, bergegas mencari
tempat dimana ia bisa bernaung dengan tenang. Ini terlalu berat untuknya.
Lagipula, apa
asyiknya hidup saat kau sudah mengetahui siapa saja yang akan datang dan pergi.
Lagi, perkataan Pak tua itu tak sedikitpun membekas padanya. Dirinya terus saja
mengutuk takdir yang begitu kejam. Tega-teganya membuat ia menderita seperti
ini. Mengapa pula harus menyiksanya dengan cara yang seperti ini? Apakah dosa
yang ia miliki terlalu berat, hingga ia
harus diperlakukan secara tidak adil?
Malam ini, dari
sekian malam yang setiap harinya Ivanka lewati, ia kembali menangis. Lupakan
bengisnya, Ivanka tidak sekejam itu. Ia hanya wanita lembut yang begitu perasa.
Malam ini, dari
sekian malam yang ia lewati, tangisnya lebih dahsyat dari tangis
sebelum-sebelumnya. Pria tua itu pergi, ya dia tahu. Tapi hal yang ia sesali
adalah, saat ia pun mengetahui bahwa Pria tua itu tidak pergi sendiri. Ia
membawa pasangan hatinya, Pria tua itu pasti sekarang tengah tersenyum dan
bersyukur.
Lain dengan
Ivanka. Lain, karena Ivanka justru kini membenci keputusannya tadi pagi untuk
berjalan di sore hari.
Benci, karena
pria tua itu pulang membawa Mamaknya yang tinggal di kota.
0 komentar:
Posting Komentar