Senin, 09 Maret 2015

The Cold Hearted Woman



Tittle               : The Cold Hearted Woman
 Cast                : Alexa
                          Damario
                          Evelyn
                          Nathan
 Genre             : Romance, hurt
 Author            : Natasya Rifti P
 Rate               : 15 y.o
           



--o0o--
Aunganmu tak didengarnya, jeritanmu merupakan hiburan untuknya.
--o0o--


            Pendingin ruangan tak mampu mendinginkan pikiranku. Dengan jelas, dapat kutangkap bayangmu di penghujung sana. Tersenyum menatap lembaran-lembaran kertas yang kuyakini itu tugas dari dosen botak –nan menyebalkan.

            Yap menjadi mahasiswi kedokteran memang tidak sekeren yang bisa dibayangkan. Aku harus rela berdiam diri di kampus selarut mungkin agar dapat lebih nyaman mengerjakan tugas. Toh, para keamanan sudah hapal dengan wajahku. Mereka bahkan memiliki nomor ponselku. Berjaga apabila suatu saat nanti terjadi hal yang tidak diinginkan.

            Cangkir Cappucino milikku mengeluarkan kepulan uap panasnya. Menggugah rasa untuk segera mencicipi, meski itu sebenarnya hanya kuhirup saja. Karena aku tak sanggup untuk meminumnya. Minuman ini terlalu mengingatkanku padamu.

             Nasib minuman ini mungkin akan segera berakhir di tangan Evelyn. Gadis baik hati yang bersedia duduk disamping gadis penggila minuman berkafein seperti ku –kecuali cappucino.

            Evelyn menatapku penuh maksud dan akupun tentu mengerti apa maksud tatapannya itu. Segera kuberikan cappucino –aku berani bersumpah bahwa aku baru saja membelinya, karena ini masih panas sekali-. Ia menampakan senyum tiga jari miliknya, yang sayang harus kubalas dengan anggukan kecil.

            Terbesit dipikiranku untuk menceritakan kisah kita. Dimana canda, tawa, dan duka kita lewati tanpa lelah. Senyummu kuingat, tentu pula aku berharap kau mengingat senyumku, candaku, dan teriakan malasku.
           
            Karena hanya padamulah aku demikian. Aku tak berani tertawa lepas, mengekspreksikan diriku pada orang diluar sana. Karena kukira mereka dingin, sama saja dengan cerminan diriku.

            Bertemu denganmu, merupakan titik tolak dari semua pemikiranku. Gambaranku tentang luar sana berubah. Maka dari itu, aku sangat berterimakasih padamu. Terimakasih karena telah melebarkan pandanganku.       

            Mata kita sempat bertemu, kau tersenyum malu. Sementara aku, tanganku gesit meraih apapun yang terdekat untuk diraih. Setidaknya untuk menutupi wajahku. Walau kurasa ini sebenarnya sudah terlambat.

            Sepersekian menit, kau kembali asyik dengan lembaran-lembaranmu. Menatap hal itu seolah kau tak punya waktu di esok hari. Apakah sebegitu pentingnya? Aku ingin menyapamu. Melakukan hal gila yang biasanya kita lakukan. Namun kiranya, itu hanya anganku saja.

            Matamu. Alasanku hanya matamu.

            Mata itu memancarkan hal lain. Tidak ada ketakutan saat menghadapiku, dan harus kuakui. Aku cukup puas dengan yang satu itu.       

            Aku meringis mengingat kejadian yang sebelum-sebelumnya. Tepatnya saat kita masih menduduki bangku sekolah menengah dulu. Dimana aku yang menggerutu tidak menyukai Fisika, sementara kau.. Kau mencintai Fisika, sama seperti kau mencintai buku rangkumanku.

            Oke, ini tidak terdengar lucu. Tapi percayalah, kau memang begitu mencintai buku rangkumanku. Padahal aku yakin 100% buku itu tak lebih rapih dari tulisan anak TK.  Namun pada kenyataannya, kau memuji tulisanku seperti esok adalah hari terakhir kau hidup.

            Pernah bersama?

            Yeah. Saat sekolah menengah kita memang tidak satu sekolah. Tapi tunggu, jangan katakan bahwa kau juga lupa kita ini berada pada kursus yang sama. Awalnya, aku mengenalmu karena kau sangat mencintai Fisika –pelajaran yang kubenci. Aku mendekatimu, karena aku ingin belajar darimu.

            Tampan?

            Ya, kau tampan. Bagai jelmaan Dewa Eros. Dewa Eros yang tengah menempuh diet, lupa menggunakan krim tabir surya, dan sedikit punya masalah dengan penglihatan. Dewa Eros yang satu ini minus.  Oke, setidaknya itu menurutku. Jangan menghakimi.                                                                    

            Berapa kali kita beradu pendapat?

            Kurasa disetiap pertemuan. Sudahlah lupakan, nyatanya aku begitu menikmati perselisihan itu. Karena hal kecil itu, kita bisa dekat.

            Dulu aku sempat memikirkan untuk melakukan diet. Lalu apakah kau setuju dengan program diet yang kutekuni?

            Jawabannya tidak. Aku bahkan berulang kali terkena amukanmu ketika kukemukakan alasan atas niat dietku ini. Ayolaah, berat badanku 56kg! Apa itu tidak terlalu berat untuk ukuran gadis belia dulu? DULU. Karena sekarang mustahil apabila kau sebut aku belia lagi.

            Oke oke, aku masih 22 tahun. Masih terlalu muda juga, jika ingin kau panggil bibi.  Intinya, kau begitu menolak gagasanku. Dengan alasan, tinggi 170 cm-ku tentu pas jika disandingkan dengan 56 kg. Yayaya, terserah padamu. Karena bodohnya aku, akupun menggagalkan niat itu hanya karena kau melarangnya.

            Kau tahu aku sering bercerita tentang pengalaman asmara –payah- milikku. Aku tertarik pada pria yang sama selama 4 tahun lamanya dan bla bla bla.. Bayangkan saat itu aku masih terlalu muda untuk menceritakan –hal bodoh- pada seorang pria yang tak kusadari lebih sempurna. Yayayaya, semuanya begitu indah, sesaat sebelum aku tahu bahwa aku jatuh untukmu.

            Alam bawah sadarku, membawaku semakin dalam dan larut atas dirimu. Senyummu, tawamu, bahkan kacamata tebalmu. Itu membuatku gila! Dan masalah pria yang kusukai dulu.. Kini, ia berbalik mengejarku. Mengatai dirinya bodoh karena telah mencampakanku. Ohoho, aku tak akan tertipu.

            Hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama bukan? Aku terlalu cantik untuk dikatakan mirip keledai. Jadi maaf.                                                                        

            Kembali pada masa kini.

            Semua berubah. Kau bukan lagi si kecil kurus, dengan kacamata tebal. Matamu kini normal, operasi laser mungkin?

            Kau juga tidak kurus lagi, semuanya terlihat sempurna. Kulit kusammu, katakan tidak untuk itu. Aku berani bertaruh atas boneka bebek kesayangan Evelyn, kulitmu bahkan jauh lebih terawat dibanding milikku.

            Jika dulu aku pernah berkata padamu bahwa aku memiliki pria YANG PERNAH kusukai selama 5  tahun. Maka bersiaplah mendengar fakta yang lebih mengejutkan lagi.

            Kita hanya perlu waktu 4 bulan untuk saling mengenal, kita bersama tak bisa dipisahkan. Karena kebersamaan itulah, aku merasa seperti ada tali kekang yang mengikatku dengan dirimu. Padahal aku sendiri tidak tahu, jenis tali kekang apa itu?

            Dan dari saat itu, sudah berlalu kurang lebih.. 6 tahun. Karena semenjak mengenalmu, bayangan akan pria masalaluku pudar. Kau menyadarkanku bahwa pria jenis –masalaluku- tidak patut untuk dikenang dalam museum hati. Cukup tahu bahwa dulu –sialnya- aku pernah menaruh simpati.


            Kau berdiri dari tempat dudukmu. Menatapku sekilas dan tersenyum ramah. Aku membalas senyum itu, yeah.. Hanya sekedar berbasa-basi. Berharap kau mau duduk disampingku menggantikan Evelyn.


            “Hi Eve, ayo pergi. Ibuku sudah menantimu di rumah.”


            Suara rendahmu bagai sambaran petir untukku. Membangunkanku dari segala fantasi indah yang kurajut selama 6 tahun. Evelyn sahabat terbaikku. TERBAIK. Begitu baik sampai-sampai aku tak tahu bahwa motifmu mendekatiku hanya karena ingin mendapatkan Evelyn.

            2 tahun yang lalu, kau mendadak membisu. Mengirimkan kata maaf  sebanyak yang kau bisa lewat pesan singkat.  Awalnya aku tak tahu apa itu. Hingga Evelyn berteriak dan memelukku erat.

                   “Alexa, thanks kau ternyata tahu bahwa aku sangat mengagumi Nathan. Terimakasih, karena tanpa bantuanmu.. Nathan tak mungkin melamarku.”

            Yaaa, aku mungkin tidak pintar. Namun aku juga tidak cukup bodoh untuk tidak mengerti perkataan Evelyn 2 tahun lalu. Kau meminta maaf hanya untuk tontonan. Kebersamaan kita hanya sebatas skenario apik. Skenario apik buatanmu.Terlalu apik hingga aku sendiri hanyut didalamnya.

            Bibirku terbuka, tanganku terulur. Ingin sekali kutarik kemeja mahal milikmu. Bahkan aku ingin merobek kemeja itu! Kau menatapku tanpa rasa bersalah. Seolah tak pernah ada hal manis yang terjadi diantara kita.

            Evelyn memang tidak tahu bahwa aku sempat menyimpan rasa untukmu. Ralat, maaf. Aku masih menyimpan rasa untukmu. Karena rasanya, tidak pantas bagiku unutuk mengahancurkan hubungan pasangan penuh cinta seperti kalian.               


            “Aku mencintaimu Alexa, tapi aku tidak bisa melupakan tujuan hidupku. Hidupku dari awalpun hanya untuk Evelyn. Jadi biarkan aku bahagia bersamanya. Jangan bebani pikiran polosnya dengan ceritamu.”


            Perkataan itu begitu tajam. Menghunus jantung, merobek paru. Aku tak tahu harus menulis apalagi agar kau mengerti betapa sakitnya aku. Kau membuatku bergantung padamu, aku begitu terpengaruh dalam kuasamu. Lalu kau jatuhkan aku sejatuh-jatuhnya. Hingga kupikir aku lebih baik mati daripada menanggung rasa sakit ini.


            Evelyn mengangguk menyetujui ajakanmu. Semenit, gadis itu mengacungkan Cappucino yang baru selesai ditegaknya. Kupaksakan senyum, berharap Evelyn tidak tahu betapa hancurnya aku melihat pemandangan ini. Pria yang kucintai, menggandeng sahabatku sendiri. Adakah kenyataan yang lebih menyakitkan dari ini?


            Kau dan Evelyn pergi. Ya, kalian pasti sibuk untuk mengurusi rencana pernikahan awal tahu depan bukan? Selamat.


           
            TRRRT TRRRT


            Ponselku bergetar. Kulirik sebentar, walau sebenarnya itu tak perlu. Karena, orang gila mana yang mau menelpon gadis super jutek macam diriku selain ‘pria masalalu’ itu.

           
            “Alexa?”

            “Ya, ini aku. Ada apa?”

            “Aku berada di dekat kampusmu.”
           
            “Lalu?”

            “Aku melihat Nathan dan Evelyn keluar menuju  basement.”


            Pipi bagian dalamku mungkin sudah terluka sekarang. Air mataku hampir saja jatuh. Tidak. Aku tdiak boleh terlihat lemah.

            “Ya, mereka akan pergi menuju rumah Nathan. Persiapan gedung dan hal merepotkan lain untuk pernikahan mereka sepertinya.” Ucapku dengan perasaan gundah.

            Sungguh, ponselku memang kupegan erat, namun jika boleh jujur. Mataku sudah menetskan cairan bening yang mereka sebut air mata. Kakiku gemetar tak sanggup mendengar kelanjutan dari ‘pria masalalu’. Pria yang dulu selalu kujadikan objek jika ingin berbicara dengan Nathan.

            “Jangan menangis.”

            Pria ini? Bagaimana ia bisa tahu?


            “Aku tidak akan seperti Nathan. Aku berjanji. Tidak menyadari kehadiranmu dulu, adalah kesalah terbesar yang pernah ku lakukan.”


            Benarkah ia tak akan memperlakukanku seperti yang kau lakukan dulu?


            “Aku berjanji Alexa, jangan berpikir panjang.”


            Otakku berputar, memikirkan ide lain agar rasa sakit ini memudar. Nathan.... Luka yang kau torehkan luar biasa dalam dan lebar. Aku bahkan ragu dengan ucapan pria ini. Pria yang sempat selama 4 tahun menyita hati, pikiran, dan jiwaku.


            “Apa tawaranmu masih berlaku?”


            Akhirnya aku menanyakan ini.


            “Tawaran mana Alexa? Begitu banyak tawaranku yang kau tolak.” Terdengar kekehan pelan dari ponselku. Tentu, kami masih berbicara lewat ponsel.


            Sial, disaat-saat seperti ini.. Ia masih bisa melontarkan gurauan konyolnya.            


            “Perihal pernikahan.”


            Jeda lama.


            Aku yakin ia terkejut. Oke, aku yang selama ini mati-matian menolak lamarannya. Karena aku yakin Nathan akan kembali padaku. Aku begitu yakin kau akan kembali padaku. Apakah kau tahu hal sekecil itu Nathan?

            “Kau se-serius?”


            Suara gugupnya tak bisa menahan tawaku. Aku tertawa, dan mengundang banyak pasang mata menatapku. Mengisyaratkan bahwa jika aku masih ingin tinggal diruangan ini, maka aku harus diam.

            “Bawa aku ke rumah orangtuamu. Perkenalkan aku sebagai calon mempelai wanitamu.” Kukatakan kalimat itu dengan nada terendah yang kupunya. Aku tidak mau mendapat tatapan intimidasi lagi. Sudah cukup, suara tawaku tadi terdengar memekakan telinga mereka.

            “Alexa?”

            “Yeah?”

            “Jangan kemana-mana, tetap disana. Aku akan menghampirimu sebelum kau berubah pikiran. Oh Alexa, kau tidak tahu betapa senangnya aku hari ini!!”


            Aku tertawa pelan hingga nyaris terdengar seperti desisan.

            Sambungan telepon kuputuskan secara sepihak. Toh pria itu akan menghampiriku kemari bukan?



            Hi Nathan!!! Dengarkan jeritan hatiku! Aku mungkin bodoh karena telah berpikir bahwa kaulah pangeranku. Seseorang yang bisa menghapus lukaku. Because in fact, kaulah yang menorehkan luka baru. Kau bahkan membuat luka itu sulit mengering. Menganga lebar diseptiap detik kita berjumpa.


            Kini aku mencoba untuk membuka lembar baru. Dengan nama pria yang kau ketahui. Pria yang pernah kuceritakan padamu sekitar 6 tahun lalu. Ya, dia Damario. Pria dengan darah Spanyol yang mengalir dari Ayahnya itu, kupilih sebagai penggantimu.

            Kuharap aku bisa sebahagia Evelyn. Bisa dicintai dan mencintai pria yang tepat.


            Adios Nathan!






END


Maaf, bila ada salah pengetikan atau storyline yang udah kelewat mainstream. It’s an honour for me to write such short story like this. Oya, pict-nya aku ambil dari pinterest.. Jangan marah, lagi nyiapin UTS jadi gaada waktu buat bikin cover

2 komentar:

  1. I didn't regret reading this in my hectic time. I was interested by the title, cause i thought this story is relatable to my personality 'cold hearted', haha. Pretty simple story, loved that plot. Keep up the good work, Teh.

    BalasHapus
  2. I didn't regret reading this in my hectic time. I was interested by the title, cause i thought this story is relatable to my personality 'cold hearted', haha. Pretty simple story, loved that plot. Keep up the good work, Teh.

    BalasHapus

 

Untouchable world Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang